Rabu, 18 Maret 2009

Cerpen Misterius

MISTERIUS

Fauzan Alis 2009

Termenung sejenak, setelah Kang Fuji mengataiku sebagai anak durhaka yang tak berbakti pada orang tua, sembari ku berdiri dari tempat duduk aku ambil air teh yang ada di atas meja, lalu ku pergi ke kamar.

“Tunggu, Darma aku belum selesai ngomong sama kamu!”, teriaknya.

“Apa lagi yang ingin akang katakan, belum puas mengataiku anak durhaka?”.

“Kamu memang anak durhaka!”

“Cukup !, aku tak mau lagi dengar kata-kata itu, selama ini aku sudah cukup sabar atas apa yang akang katakana”.

“Tapi aku ini kakak kamu Darma!”.

“Memang, tapi tak ubahnya kakak tiri yang ingin selalu menyiksa adiknya sendiri”.

Kang Fuji berjalan perlahan mendekatiku ke depan pintu kamar, kemudian dia menamparku dan berkata.

“Bajingan!”

Kutak berkata-kata lagi kemudian ku masuk kekamar tanpa membanting pintu. Aku merasa setelah kami hidup hanya berdua karena ibu dan bapak meninggal dalam kecelakaan tak ada yang mampu meredam setiap amarah diantara kami berdua.

***

Kicau burung pagi ini membangunkan aku dari tidur yang kurasa tak panjang, mungkin karena kumerasa kecapean. Kulihat jam menunjukkan pukul 08.26, lekas ku buka jendela kamar, kuhirup udara pagi yang segar, kurasakan sejuk, tenang, menentramkan gejolak jiwa.

Suara piring pecah kemudian terdengar dari arah dapur tepat di sebelah kiri kamarku. Kucoba tuk melihat apa yang terjadi, mungkin Kang Fuji masih marah padaku atas kejadian tadi malam, aku jadi merasa bersalah telag berlaku seperti itu.

“Astagfirullah…!”,

Teriaku ketika melihat kang Fuji terkapar diatas lantai dengan penuh darah di bajunya, tak pikir panjang kuambil pisau yang masih menancap di dada kanannya, tangan kang Fuji masih bergerak-gerak, melihat dia seperti itu ku yakin kang Fuji masih hidup, kemudian ku lari kedepan rumah berteriak-teriak meminta tolong.

Setelah beberapa saat warga memenuhi rumahku, Satrio yang pertama datang terus menenangkanku, Pak Sutiyo tak lama setelah itu keluar dari mobil Polisi, dia datang bersama Polisi untuk mengamankan TKP dan membawa kakakku kerumah sakit.

***

“Sabar, Darma…”, Pak Sutiyo berusaha menenangkanku.

“Iya, Darma, kamu berdoa saja mudah-mudahan kang Fuji bias selamat”, tambah Satrio.

Tak ada kata yang terucap dariku, aku masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, apakah tadi pagi ada yang datang kerumahku untuk merampok atau kang Fuji sengaja ingin, ah…tak mungkin kang Fuji mencoba bunuh diri.

“Siapa diantara anda yang merupakan saudara dari saudara Fuji?”

Polisi yang tinggi tegap dengan perut yang agak buncit bertanya dengan sedikit tersenyum berusaha untuk ramah.

“Emh…Saya pak !”, jawabku lemah.

“Baik kalo begitu, bapak-bapak saya pinjam dulu beliau”

“Oh, silahkan pak”, Pak Sutiyo berdiri kemudian mempersilahkan.

***

“Nama kamu siapa?” Dilorong-lorong rumah sakit, polisi itu bertanya dengan ramah.

“Darma…”, jawabku singkat.

“Sekarang kamu boleh melihat kakakmu”

“Apakah kang Fuji baik-baik saja”

“Maaf…”

Aku berhenti sejanak dan menatap wajah Polisi itu. Aku tak bisa menahan tangis ketika Pak Gunawan nama Polisi itu mengatakan kang Fuji sudah meninggal, dan nyawanya tak terselamatkan.

“Kami dari pihak kepolisian meminta izin untuk melakukan otopsi atas jenazah Almarhum Fuji”

“Dimana kang Fuji?”, tanyaku, tanpa menghiraukan yang dia katakan.

“Oh iya, silahkan kamu lihat, itu dia yang dibaringkan sebelah lemari warna silver”

Aku tak sanggup untuk melihat jasad kakakku lama-lama, setelah itu aku pergi keluar, dan polisi itu mengejarku keluar.

“Darma!, tunggu sebentar nak”, pak Gunawan berusaha menahan ku untuk pergi.

“Mohon maaf apabila saya tidak menghiraukan kesedihanmu, saya hanya menjalankan tugas, saya mohon izin untuk melakukan pemeriksaan terkait dengan kematian kakakmu, ya… pemeriksaan akan kami laksanakan besok jam 10 pagi, ini surat panggilannya”.

“Baik, besok saya akan datang ke kantor, permisi”.

Pak Gunawan setelah menyerahkan surat panggilan itu lantas tak menahanku lagi untuk pergi. Berjalan perlahan melewati setiap lorong dirumah sakit itu, sampailah aku di pintu keluar rumah sakit, dari pintu itu kulihat pak Sutiyo sedang berbincang dengan petugas kamanan rumah sakit, kemudian Satrio menghampiriku.

“Bagaimana keadaan kakakmu”, tanyanya padaku. Tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Kemudian pak Sutiyo mengjak pulang kerumah.

“Kita langsung pulang saja, Satrio tolong carikan angkot untuk tumpangan”

“Baik pak!”.

***

Setelah mereka melakukan pemeriksaan terhadapku selama berminggu-minggu mereka menyatakan aku sebagai pelaku pembunuhan, aku merasa terdzalimi dengan keputusan kepolisian, mereka mengatakan bahwa hasil pemeriksaan selama ini pelaku mengarah kepadaku. Tetangga dan warga kampong tak menyangka jika aku sebagai adik tega membunuh kakaknya sendiri, aku merasa keputusan polisi itu menghancurkan nama baikku, bagaimana mungkin aku membunuh kakakku sendiri. Tapi semua tuduhan memang mengarah kepadaku. Kini aku tinggal menunggu proses persidangan, yang mungkin dalam persidanganpun aku akan tetap menerima ganjaran yang tidak seharusnya aku terima.

Tidak ada komentar: